Yogyakarta, Dinamika organisasi dimanapun selalu ada, begitu juga di persyarikatan Muhammadiyah. Tulisan ini tak hendak membuka luka lama, akan tetapi kita bisa mengambil keteladanan akhlak pemimpin di masa lalu yang tidak pernah mencintai kedudukan dan jabatan. Berbeda dalam kontestasi politik baik pusat maupun daerah di masa sekarang, dimana jabatan diperebutkan dengan biaya yang sangat besar, dihiasi dengan pencitraan serta janji manis. Akan tetapi hasil kerjanya tidak semanis janjinya.
Sahdan, di usianya yang ke-25 tahun atau sekitaran tahun 1937 Muhammadiyah mengalami dinamika antara tiga tokoh Senior dengan aktivis muda. Yang senior menganggap yang muda masih belum berpengalaman, sedangkan yang muda menganggap yang senior seakan-akan menguasai segalanya. Dinamika ini meluas dan meruncing sejalan dengan makin dekatnya Kongres (sekarang Muktamar) ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937. Saat itu sempat terjadi saling kritik antara aktivis muda dengan tiga tokoh senior tersebut.
Kondisi yang demikian itu sangat tidak diharapkan dan berpotensi menciptakan ketidak nyamanan dalam organisasi. Dalam situasi yang sulit muncullah KH. Hadjid dan Ki Bagus Hadikusumo yang berinisiatif untuk menampung aspirasi aktivis muda itu. Kedua tokoh Muhammadiyah tersebut mengumpulkan para aktivis muda guna bermusyawarah dan hasilnya akan disampaikan kepada para pengurus Muhammadiyah di daerah. Sejak saat itu gerak aktivis muda selalu dibimbing KH. Hadjid dan Ki Bagus .
Sebelum kongres ke-26 dibuka, dua tokoh Muhammadiyah menghubungi Buya Sutan Mansyur (Konsul Daerah Minangkabau), Citrosuwarno (Konsul Daerah Pekalongan), dan Mulyadi Joyomartono (Konsul Daerah Surakarta) untuk menyampaikan aspirasi dan keinginan dari para aktivis muda, yakni jika Jabatan Ketua dipegang tokoh muda, maka harus orang yang berpikiran serta mencerminkan ajaran Islam dalam sikap dan tindakan kepemimpinannya. Adapun jika tokoh Senior yang memegang jabatan Ketua, hendaknya mereka dapat menghargai dan memahami aspirasi angkatan muda.
Singkat cerita, acara Kongres pun dimulai, suara dari ranting-ranting ternyata lebih banyak tertuju pada ketiga tokoh senior di atas. Padahal ketiga tokoh senior kurang disukai oleh angkatan muda. Jalan keluarnya dibuatlah musyawarah angkatan muda yang dihadiri Buya Sutan Mansyur, Citrosuwarno, dan Mulyadi Joyomartono, dalam musyawarah dibicarakan tentang susunan Pengurus Besar ditinjau dari segala aspek. Dalam salah satu musyawarahnya tiga tokoh senior itu juga diundang, dan musyawarah berjalan dengan baik, dijiwai oleh keihlasan dan keterbukaan.
Dalam kesempatan musyawarah tersebut, ketiga tokoh senior yang terpilih suara terbanyak dalam kongres ke-36 menyatakan dengan tulus hati kesediaannya untuk mengundurkan diri. Menurut ketiiganya, aktif dalam Muhammadiyah bukan untuk mencari kedudukan, bukan karena jabatan, dan bukan sumber penghasilan, melainkan amal jihad demi Alloh semata. Mereka minta, bersedia ditempatkan dimanapun dalam persyarikatan Muhammadiyah jika Muhammadiyah tidak memakainya sebagai anggota Pengurus Besar.
Dengan pernyataan tersebut, maka langkah selanjutnya mencari calon-calon anggota dan Ketua Pengurus Besar. Musyawarah mengusulkan Ki Bagus sebagai Ketua, namun beliau menolak baik sebagai anggota maupun Ketua Pengurus Besar. Musyawarah selanjutnya minta kepada KH. Hadjid untuk posisi yang sama, lagi-lagi usulan ini ditolak. Selanjutnya musyawarah memutuskan agar Buya Sutan Mansyur menerima jabatan Ketua Pengurus Besar, dengan rendah hati beliau juga menolaknya. Buya Sutan Mansyur kemudian mengusulkan agar KH. Mas Mansyur saja yang menjadi Ketua, dan ternyata Buya Sutan Mansyur berhasil meyakinkan KH. Mas Mansyur untuk menjadi Ketua, namun KH. Mas Mansyur minta syarat yakni Wakil Ketuanya Ki Bagus Tapi dengan halus Ki Bagus menolaknya dan mengajukan KH. Ahmad Badawi sebagai Wakil Ketuanya. Akhirnya hasil musyawarah angkatan muda Muhammadiyah itu dibawa ke Tanwir, setelah peserta Tanwir menyetujui, selanjutnya dimintakan pengesahannya di kongres. Walaupun awalnya terjadi kegemparan di arena kongres karena tidak sesuai dengan hasil pemungutan suara, namun berkat penjelasan yang rasional dan diselingi humor dari Citrosuwarbno, Buya Sutan Mansyur dan Mulyadi Joyomartono akhirnya peserta kongres dapat menyetujui usul Tanwir tersebut.
Hikmah dari peristiwa di atas menunjukkan bahwa para pemimpin Muhammadiyah di masa lalu tidak pernah berebut jabatan, bahkan malah saling mendorong tokoh lain untuk memimpin Muhammadiyah. Bagi mereka jabatan adalah amal bakti, bukan untuk gagah-gagahan, atau bahkan mencari penghidupan. Inilah akhlak pemimpin yang patut untuk diteladani.
Penulis hanya bermimpi, seandainya para pejabat publik kita berperilaku sebagaimana akhlak pemimpin Muhammadiyah, maka akan mengurangi ongkos politik yang akhirnya juga mengurangi tindak korupsi di negeri ini, Tapi tentu saja akan membuat kecewa para bohir politik, serta mematikan bisnis buzzer bayaran.